Home » , , , , , » Persepsi Biasanya Terkait Dengan Ilmu Yang Dimiliki : Belajar Dari Studi Tentang Pencarian Atlantis

Persepsi Biasanya Terkait Dengan Ilmu Yang Dimiliki : Belajar Dari Studi Tentang Pencarian Atlantis

Written By Unknown on Monday, March 6, 2017 | 4:17:00 PM

Malam tadi pulang takziah mata ini belum juga mau merem. Akhirnya saya hidupkan salah satu siaran TV kabel favorit, NGC. Kebetulan kanal ini sedang menyiarkan sebuah film dokumenter tentang pencarian sekaligus pembuktian beberapa ahli arkeologi atas keberadaan benua Atlantis yang diyakini dulu pernah ada.

Illustrasi benua atlantis yang hilang. Sumber gambar : deviantart.net

PENEMUAN JANGKAR KUNO

Saya gak nonton film dokumenter ini dari awal sehingga tidak tahu persis bagaimana beberapa ahli mengaitkan situs-situs arkeologi tertentu dengan posisi dan budaya penduduk benua Atlantis. Yang jelas para ahli ini kemudian mengklaim bahwa beberapa situs arkeologi memiliki umur yang sama dengan kebudayaan atlantis dan kebudayaan atlantis ini selanjutnya dianggap berhasil mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan dimana situs-situs arkeologi ini berada, seperti bentuk bangunannya (atau semacam kuil).

Para ahli ini melakukan penyelaman di dasar laut atlantik, dimana seorang ahli mengatakan bahwa bagian laut ini hampir tidak pernah diselami oleh penyelam manapun.

Didasar laut yang dalam dan gelap itu para penyelam menemukan beberapa batu dengan diameter rata-rata 70an cm yang berbentuk bulat, oval, bahkan persegi dengan lobang ditengahnya.

Batu-batu ini oleh para ahli tersebut dikatakan merupakan jangkar-jangkar kuno yang digunakan oleh kapal-kapal pada masa benua atlantis masih ada. Artinya, dengan penemuan jangkar-jangkar ini dapat disimpulkan serta membuktikan bahwa pada masa dahulu kala daerah ini adalah pelabuhan besar.

JIKA PENYELAM ITU ADALAH KAMU, TAHUKAH BAHWA ITU ADALAH JANGKAR KUNO?

Sambil nonton film dokumenter tersebut imajinasi saya melayang-layang. Saya pun berfikir, bagaimana jika seandainya ketika saya sedang menyelam dan melewati bagian-bagian jangkar kuno tersebut.

Tahukah saya bahwa itu adalah jangkar-jangkar kuno?  

Saya rasa TIDAK.

Akan sadarkah saya bahwa batu-batu itu bagai permata yang amat berharga sehingga para ahli dari bagian dunia yang jauh bahkan rela mendatanginya hanya untuk mendokumentasikannya?  

Saya yakin bagai panggang yang jauh dari api.

Lalu imajinasi saya kembali terbang ke daerah-daerah di Provinsi Bengkulu.

Bengkulu dulu kala pernah didatangi oleh bangsa Inggris dan Belanda. Saya yakin banyak peninggalan-peninggalan mereka yang tenggelam didasar laut, terkubur dalam dibawah tanah, atau mungkin bahkan terhampar begitu saja tanpa ada orang yang mengetahui bahwa itu adalah benda yang memiliki nilai sejarah.

Atau bahkan juga mungkin ada peninggalan-peninggalan berharga lainnya dari bangsa-bangsa pendatang lain yang kami --masyarakat Bengkulu-- sering lewati, lihat, namun tidak mengetahuinya.

Dan ini baru di daerah Provinsi Bengkulu. Belum lagi di daerah-daerah lain se Indonesia.

Amat sangat mungkin sekali ada dan terjadi.

PERSEPSI MEREFLEKSIKAN JUMLAH ILMU YANG DIMILIKI

Hikmah yang saya petik dari film dokumenter diatas adalah bahwa seringkali kita meremehkan suatu hal, menganggapnya tidak penting, padahal sebenarnya bukannya tidak penting, namun ilmu yang kita miliki belum sampe kesana.

Persis seperti batu-batu tadi yang ternyata adalah jangkar-jangkar kuno yang merupakan bagian dari simpul yang selama ini hilang yang menunjukkan keberadaan benua atlantis. Jika orang buta arkeologi seperti saya melihat batu itu, pasti saya hanya bersikap biasa-biasa saja karena bagi saya bebatuan tersebut tidak menarik perhatian saya sama sekali, berbanding terbalik dengan sikap para ahli arkeologi diatas.

Sebagai makhluk visual, kita seringkali hanya melihat berdasarkan apa yang tampak saja. Padahal sejatinya sesuatu itu tidak melulu berdasarkan apa yang tampak. Malah seringkali yang tersembunyi itulah sebenarnya terjadi dan yang paling mempengaruhi.

Bagaimanakah penilaian kita terhadap sesuatu masalah, ataukah sesuatu benda. Sejauh mana persepsi kita terhadap hal-hal tersebut, amat tergantung dengan sejauh mana ilmu yang kita miliki mengenai hal itu. Dan jika ilmu kita hanya sedikit, ya seperti saya tadi, paling hanya menganggap sesuatu itu remeh dan tidak penting.

HARUS MAU TERUS BELAJAR

Oleh karena itu kita harus terus belajar dan belajar. Tidak hanya dari buku-buku, tetapi kepada orang yang memang lebih ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang. Belum tentu mereka yang lebih muda daripada kita lebih dangkal ilmunya, mungkin malah sebaliknya, mereka yang lebih muda usianya bisa saja lebih paham dan dalam ilmunya.

Tidak ada kata telat untuk terus belajar. Mungkin kelihatannya terlalu terlambat untuk mempelajari suatu hal, namun seperti kata pepatah bahwa lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ilmu yang terus diasah akan membuat perspektif kita dalam menghadapi sebuah permasalahan semakin dalam dan diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan lebih baik lagi.

Bagaimana, apakah kamu juga pernah mengalami proses fikir yang sama?

0 komentar:

Post a Comment